|
Bahan untuk renungan bersama : Malu menjadi bangsa Indonesia dan malu menjadi Islam
PARIS (SuratkabarCom) -
Aksi terror peledakan bom di dua tempat (di Denpasar dan Renon) yang
mengakibatkan meninggalnya begitu banyak orang (sebagian besar warganegara
asing) dan lukanya ratusan orang pada hari Sabtu malam tanggal 12 Oktober
merupakan peristiwa besar dan serius bagi bangsa Indonesia, mengingat
dampaknya yang luas, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Sebab,
kejadian ini ada hubungannya yang erat dengan berbagai persoalan yang telah
dan sedang terjadi di tanahair kita.
Kalau kita renungkan bersama secara dalam-dalam peristiwa Denpasar dan
berbagai soal yang sedang terjadi di negeri kita dewasa ini akan bisa
mengertilah kita mengapa banyak orang menjadi frustrasi, prihatin, marah
atau bingung. Keadaan negara dan bangsa kita dewasa ini memang sudah
membikin pedihnya hati banyak orang yang peduli terhadap keadaan bangsa kita
dewasa ini dan juga hari depan generasi kita yang akan datang. Sebab,
keadaan sudah begitu bobroknya di segala bidang, dan pembusukan
besar-besaran sudah begitu mengganasnya di berbagai golongan bangsa,
sehingga makin banyak orang yang menyatakan “malu menjadi bangsa Indonesia
atau “malu menjadi orang Islam.
Ucapan semacam ini adalah amat serius! Oleh karena itu, perlulah masalah ini
dijadikan pengkajian yang dalam di berbagai kalangan, diangkat sebagai bahan
diskusi di perguruan tinggi dan pesantren, dibicarakan dalam
pertemuan-pertemuan partai dan organisasi masyarakat, dipersoalkan di
kalangan berbagai badan pemerintahan, bahkan juga di kalangan keluarga.
Sebab, masalah ini adalah soal besar yang menjadi urusan kita semua,
sebagai anak bangsa dan sebagai warganegara republik kita. Mengapa?
Kalau kita baca pers Indonesia, atau melihat siaran-siaran televisi dan
mendengarkan radio, maka kelihatan nyatalah bahwa keadaan bangsa dan negara
memang sudah keterlaluan bobroknya. (Ini bisa kita saksikan sendiri, kalau
melihat di sekeliling kita masing-masing di Indonesia). Kita jadi bisa
bertanya-tanya, kenapa bangsa kita menjadi begini rusak dan negara begini
bobrok? Betapa pula tidak! .
PEMBUSUKAN YANG SUDAH MENYELURUH
Setiap hari kita disodori berita-berita (dan juga gosip!) tentang betapa
bejatnya moral di kalangan pemimpin atau “tokoh masyarakat di HAMPIR SEMUA
golongan, partai atau organisasi. Berita-berita soal korupsi besar-besaran
(dan keterlaluan!!!) yang terjadi di kalangan atas sudah menjadi sajian
sehari-hari, sehingga kita menjadi ragu yang mana sajakah yang masih bisa
dipercayai atau masih bisa dihormati. Kasus Gubernur Bank Indonesia Syahril
Sabirin, Ketua DPR Akbar Tanjung, Wakil Ketua MPR Ginanjar Kartasasmita,
Wakil Ketua DPR A. M. Fatwa, Jaksa Agung M. A. Rahman, adalah sebagian
kecil saja yang kelihatan dari gunung es pembusukan yang sedang terjadi.
Sekarang makin banyak bukti bahwa DPR (artinya juga MPR) menjadi sarang bagi
oknum-oknum yang menamakan dirinya “wakil rakyat yang bermain-ria dalam
kubangan kotor korupsi (tidak semua, memang!). Untuk mengesahkan
undang-undang, atau menyetujui projek-projek (listrik dll), anggota-anggota
DPR perlu disuap. Halaman parkir DPR sudah menjadi show-room mobil mewah
yang berjejer-jejer. Di samping itu, gedung pengadilan sudah menjadi pasar
jual-beli dan tawar-menawar secara haram dalam menyelesaikan perkara, antara
hakim, jaksa, saksi, terdakwa atau tertuduh, dan pengacara. Polisi di semua
jajaran, dari tingkat yang paling rendah sampai yang tertinggi, juga bisa
dibeli. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa “kebenaran atau “keadilan
sering memihak kepada yang punya uang.
Kejaksaan Agung, yang di banyak negeri merupakan salah satu di antara
simbul-simbul penegakan hukum, keadilan dan kebenaran, di Indonesia
dicemarkan oleh moral pimpinannya yang patut dinajiskan oleh banyak orang.
Cerita yang berbelit-belit dan maral-melintang tentang rumahnya yang mewah
seharga lebih dari Rp 1 milyar (dan deposito di bank sebanyak Rp 800 juta)
adalah contoh tipikal moralitas kalangan atas di Indonesia. Sumpah jabatan
dengan Alquran pun sudah dianggap kentut saja oleh mereka. Di kalangan para
pemuka agama, atau tokoh-tokoh yang menggunakan agama sebagai alat
kotor,untuk mengumpulkan kekayaan secara bathil pun sudah banyak muncul.
Yang terakhir adalah peristiwa PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), di mana
bermilyar-milyar rupiah uang orang banyak (termasuk uang PPP) dikadali oleh
Ramly Arabi. Juga dalam perkara ini banyak tokoh dan pejabat penting
tersangkut (Sinar Indonesia Baru, 6 Sep. 2002).
CITRA BURUK YANG SUDAH LAMA
Sebenarnya, citra buruk Indonesia ini bukan hanya sekarang saja. Ini sudah
terjadi sejak adanya pembantaian lebih dari satu juta manusia tidak bersalah
dalam tahun 1965 oleh para pendiri Orde Baru., dan pemenjaraan ratusan ribu
tahanan politik selama puluhan tahun. Citra buruk ini dibikin lebih parah
lagi dengan agresi militer dan pembunuhan di Timor Timur, dan kemudian
diteruskan dengan pelanggaran HAM diberbagai daerah di Indonesia, selama
puluhan tahun pula (contoh, di antaranya : Aceh, Irian Jaya, Haur Koneng,
Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli, penculikan dan pembunuhan anak-anak PRD,
perlakuan terhadap ex-tapol dan para korban Orde Baru lainnya).
Sekarang ini, citra buruk ini masih terus dilanjutkan, bahkan, diperparah
lagi, dengan adanya aksi-aksi kekerasan, pengrusakan, dan terror yang
dilakukan oleh sebagian golongan yang menamakan diri mereka Islam, antara
lain oleh Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majlis Mujahidin, Ahlus
Sunnah Waljamaah, KISDI danyak golongan yang sejenis dan sefaham. Citra
Indonesia, sebagai negara dengan penduduknya yang terbesar dari golongan
Islam, sudah makin coreng-moreng. Sayang sekali, bahwa dalam hal ini, MUI
(Majlis Ulama Indonesia) serta tokoh-tokoh Islam dan pejabat-pejabat tinggi
negara yang kebanyakan beragama Islam (termasuk Wakil Presiden Hamzah Haz)
selama ini tidak bersikap tegas untuk mencegah terjadinya aksi-aksi atau
sikap yang negatif itu.
Jadi, citra Indonesia yang sudah amat buruk sejak lama oleh karena adanya
korupsi parah yang merajalela, dan pelanggaran-pelanggaran HAM, makin
dibikin lebih buruk lagi oleh aksi-aksi berbagai golongan yang menamakan
diri Islam. Dalam kaitan ini patut kita ingat bentrokan-bentrokan berdarah
di Maluku, Poso, dan aksi-aksi terror di Jogya, dan Menado akhir-akhir ini.
Peledakan bom di Bali adalah puncak dari beraneka-ragam aksi-aksi terror
itu. Kiranya, sudah waktunyalah bahwa para pemeluk Islam lainnya di
Indonesia, berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara, untuk memperbaiki
citra buruk Islam yang dikotori oleh mereka-mereka ini. Bukan hanya untuk
mencegah terjadinya pengrusakan, terror dan penganiayaan seperti yang
dilakukan akhir-akhir ini, melainkan juga dengan tegas dan jelas ikut
memerangi korupsi.
Sebab, kita sama-sama saksikan sendiri bahwa gejala-gejala korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan di negeri kita selama ini kebanyakan dilakukan
oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam, sembahyang lima waktu,
memberikan zakat, berpuasa, dan naik haji pula. Orang mengatakan bahwa di
negara kita yang berpenduduk 210 juta ini sebagian terbesar (lebih dari 85
%) adalah pemeluk agama Islam. Namun, dunia juga mengenal Indonesia sebagai
negara yang korupsinya termasuk yang paling tinggi!.
MEMANG SUDAH MEMALUKAN SEKALI
Lalu? Apakah kita perlu merasa malu menjadi bangsa Indonesia? Memang! Kita
perlu merasa malu bahwa ketika utang luarnegeri kita sudah mencapai sekitar
150 milyar US$, masih banyak tokoh-tokoh kita yang berlomba-lomba membeli
banyak mobil dan rumah mewah dari uang haram. Kita perlu malu bahwa ketika
pengangguran sudah mencapai lebih dari 40 juta orang, banyak pejabat
pemerintahan kita (dari tingkat atas sampai bawah) masih tega hati untuk
mencuri dana publik dengan berbagai cara (memperdagangkan projek-projek,
menggelembungkan harga-harga, atau cara-cara kotor lainnya). Adalah
memalukan, dan sekaligus menyedihkan, bahwa untuk mengurusi para pengungsi
di berbagai daerah yang dilanda kekacauan terpaksa diminta bantuan dari
negara-negara asing, namun kemudian sebagian dana itu juga disunat atau
ditilep masuk kantong sendiri. Adalah memalukan dan sekaligus membikin geram
banyak orang bahwa begitu banyak perkara menumpuk di kantor-kantor
kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan, yang kemudian “menghilang begitu
saja masuk peti es. Yang juga memalukan dan sekaligus memprihatinkan bagi
bangsa adalah bahwa dewan perwakilan rakyat kita diketuai oleh seorang yang
terpidana karena soal penyelewengan keuangan. Daftar hal-hal yang memalukan
ini bisa lebih panjang lagi..............
Jelaslah kiranya bagi kita semua bahwa banyak sekali persoalan dalamnegeri
kita yang patut menjadikan kita malu sebagai bangsa atau sebagai
warganegara. Memang, sebagian besar kebusukan dan keburukan itu adalah
akibat, produk atau warisan sistem politik Orde Baru. Termasuk sumber daya
manusia yang kita miliki dewasa ini. Sebab, tidak boleh kita lupakan bahwa
kebanyakan tokoh-tokoh kita dalam bidang eksekutif, legislatif dan judikatif
(termasuk tokoh-tokoh dalam berbagai golongan masyarakat) adalah hasil
didikan, bimbingan dan pembinaan Orde Baru yang berlangsung lama sekali,
yaitu lebih dari 30 tahun! Sayangnya, adalah bahwa justru berbagai produk
yang merusak bangsa inilah yang sekarang ini masih ingin dipertahankan terus
oleh berbagai golongan dalam masyarakat kita (antara lain : Golkar, sebagian
TNI-AD, sebagian golongan reaksioner di kalangan Islam, dan
pendukung-pendukung Orde Baru lainnya, yang bersembunyi di banyak kalangan).
Kalau kita cermati apa yang terjadi di Jakarta selama ini, dan juga di
daerah-daerah (propinsi dan kabupaten) maka jelaslah bahwa Orde Baru telah
merusak bangsa Indonesia. Dan kerusakan yang paling besar adalah di bidang
moral. Kerusakan di bidang moral inilah yang menimbulkan beraneka-ragam
kerusakan parah lainnya di banyak bidang.
PERISTIWA BALI BISA BERBUNTUT PANJANG
Sudah dapat diperkirakan bahwa peristiwa terror peledakan bom di Bali ini
akan berbuntut panjang, dan berdampak luas. Bukan hanya bagi kehidupan
ekonomi penduduk pulau Bali saja, yang sumber utamanya adalah dari turisme,
melainkan juga bagi banyak bidang di tingkat nasional maupun internasional.
Peristiwa ini akan bisa memberikan bukti, yang lebih jelas lagi, bahwa di
Indonesia memang ada gerakan-gerakan terroris, yang kebanyakan dilakukan
oleh golongan reaksioner Islam. Golongan inilah yang sejak lama sudah
melakukan aksi-aksi terror dalam segala bentuk di berbagai daerah Indonesia.
Mereka ini telah mendapat simpati dan dukungan dari Orde Baru, dan sekarang
ini sedang bekerja-sama dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru.(Gus Dur, 10
Oktober 2002)
Peristiwa di Bali ini menunjukkan bahwa golongan reaksioner Islam (baca :
yang garis keras, fondamentalis, ultra-fanatik) di Indonesia merupakan
kekuatan yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan mereka yang
tidak menguntungkan bangsa dan negara. Mereka berusaha memecah persatuan
nasional dan kesatuan bangsa. Mereka pada hakekatnya menentang jiwa asli
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka menghalangi pentrapan
prinsip-prinsip demokrasi. Mereka mencegah pembebasan dan kemajuan wanita.
Mereka menyebarkan kebencian antar-agama. Mereka merusak toleransi perbedaan
pendapat. Mereka ini berbahaya!
Itulah sebabnya, peristiwa terror peledakan bom di Bali ini patut menjadi
lonceng tanda berangkat bagi golongan Islam lainnya untuk berusaha
menyebarkan dan mentrapkan Islam yang sejuk bagi semua golongan (termasuk
yang non-Islam), dan berusaha supaya Islam bisa betul-betul menjadi payung
tempat berteduh bagi yang non-Islam juga. Kalau golongan Islam garis keras
menyebarkan kebencian agama dan menyuburkan permusuhan, maka golongan yang
bernalar sehat perlu berusaha terus membuka hati dan mengulurkan tangan bagi
terjalinnya persaudaraan dan persahabatan antar-sesama umat manusia yang
hidup di Indonesia kita ini.
.
Peran golongan Islam di Indonesia adalah amat penting, untuk menjadikan
tanah-air kita sebagai tempat untuk hidup bersama, dalam kedamaian dan
kesejahteraan bersama. Untuk itu, segala kegiatan negatif dari “golongan
garis keras itu perlu dilawan, dikucilkan, untuk kemudian dilumpuhkan.
Kalau situasi yang demikian sudah bisa kita ciptakan, maka tidaklah akan
terdengar lagi ucapan orang : saya malu menjadi orang Indonesia, atau, saya
malu menjadi orang Islam.
Paris, 13 Oktober 2002
(Catatan : tulisan yang disampaikan lewat E-mail kali ini juga disiarkan
dalam “Website A. Umar Said, yang bisa dibuka lewat Internet dengan
meng-klik http://perso.club-internet.fr/kontak/ )
HOME | Today's News | Shopping | Add URL Copyright 1999-2002 © SuratkabarCom Online
|