Sejarah Yakuza di Jepang
Sejarah Yakuza jejak asal-usulnya kembali ke jaman Tokugawa atau jaman Edo (1603-1868), saat shogun, ketika Ieyasu Tokugawa (1603-1605) mulai berkuasa memadukan negara Jepang. Jauh dari periode perang saudara, namun juga belum menjadi negara yang stabil. Pada era baru tersebut ada sekitar 500.000 samurai yang menganggur, dan tidak ada pekerjaan yang cukup untuk mendukung jumlah mereka. Banyak dari samurai ini bergabung dengan kelas pedagang (Tekiya), tetapi mereka yang tidak bergabung, menjadi ronin (Samurai Tak Bertuan, atau tunawisma), harus menemukan cara lain untuk mendukung kehidupannya. Mereka banyak beralih ke metode sebagai penjudi (Bakuto), pencurian dan kriminal untuk mendukung kehidupan diri mereka sendiri.Apabila menunjuk nama orang, siapa Yakuza pertama, mungkin bisa disebutkan Isokichi Yoshida (1867-1936) dari Kitakyushu yang merupakan Pemimpin Pertama Yamaguchi-gumi.
Ada juga ronin yang menjadi machi-yokku, atau pelayan kota atau satuan tugas (satgas desa). Pada hakekatnya berusaha kuat mencari penghasilan untuk melindungi dan menghidupi serta bagi kesejahteraan keluarga mereka dan kota.
Seperti geng akhir-akhir ini, mereka banyak yang menghabiskan waktu untuk perjudian.
Sama seperti Mafia Italia, Yakuza dimulai dengan pengaturan secara kekeluargaan, tetapi tidak didasarkan kepada garis keturunan, tetapi melalui adopsi maupun penerimaan anggota dari orang yang tak dikenal sebelumnya.
Hubungan ini kemudian menjadi hubungan seorang godfather di bagian atas, dengan anggota baru di bawahnya, sehingga terbentuk secara piramida, dan istilah yang diberikan kepada peran ayah-anak (atasan-bawahan) disebut sebagai hubungan oyabun-kobun.
Oyabun memberikan saran, perlindungan, dan bantuan, dan sebagai imbalannya menerima loyalitas teguh dan pelayanan kobun ketika dibutuhkan.
Inisiasi janji baru ke dalam organisasi dilakukan dalam mode yang sangat formal, dengan pertukaran cangkir sake untuk melambangkan hubungan darah (sake dilambangkan sebagai darah) antara oyabun dan kobun tersebut. Upacara ini biasanya dilakukan pada kuil Shinto, dan dengan demikian ditetapkan memiliki makna keagamaan.
Yakuza selalu membanggakan diri pada kode bushido, atau cara samurai. Kematian kekerasan secara tradisional dilihat sebagai nasib puitis, tragis, dan terhormat, dan konsep giri dan ninjo adalah pusat perhatian terhadap hubungan di antara anggota.
Giri, atau kewajiban, mengacu pada rasa kuat bersama untuk melaksanakan kewajiban atau tugas dengan baik secara bersama-sama di antara anggota, dan juga sebagai "pakaian sosial" yang mengikat banyak hal agar dapat menyatukan Jepang bersama-sama.
Ninjo kira-kira diterjemahkan dengan emosi, atau kasih sayang manusia, dan menunjukkan "kemurahan hati atau simpati terhadap hal-hal yang lemah dan kurang beruntung dan terhadap orang lain. Hal ini mengikat suatu bentuk kesopanan dan patriotisme yang memberikan Yakuza semangat semacam Robin Hood, citra yang romantis apabila dilihat di mata publik.
Yakuza telah mempertahankan hubungan yang sangat erat dengan entitas politik dan korporasi Jepang dalam pertumbuhan mereka selama bertahun-tahun, jauh lebih lama daripada rekan mereka, mafia, di Amerika Serikat.
Akibat kekacauan politik setelah masa setelah Perang Dunia II, Yakuza, menjadi sayap kanan sangat konservatif. Itulah sikap mereka saat itu sehingga banyak terjadi pembangkangan.
Karena setelah Perang Dunia Kedua, kekerasan antara faksi-faksi yang berbeda terjadi semakin sengit. Setelah perang dunia kedua, organisasi telah terdegradasi dari perawakan asli mereka. Mereka menjadi boryokudan, atau geng kekerasan, dan di Bosozoku, geng biker (sepeda motor) Jepang. Terbentuk faksi kecil-kecil dan muncul perselisihan ke dalam sistem bawah tanah kriminal tradisional. Ada pula kecenderungan menurunnya solidaritas dan ketaatan di antara anggota Yakuza.
Anggota yang lebih tua kecewa dengan penurunan nilai-nilai moral dan peningkatan penggunaan senjata di kalangan atas dan generasi muda yakuza, yang sebelumnya tidak pernah menjadi masalah utama di Jepang. Ini transformasi dalam perilaku di antara anggota yang menjadi kriminal, terlihat sebagai masalah besar tidak hanya oleh generasi tua penjahat, tetapi oleh lembaga penegak hukum juga.
Adanya perpecahan itu memunculkan seorang seorang pemimpin Yakuza yang juga pemimpin Yamaguchi-gumi, Yoshio Kodama. Sempat dipenjara di Sugamo Prison bersama Ryoichi Sasakawa, yang akhirnya bersahabat. Saat dipenjara Kodama membuat buku yang menjadi sangat terkenal, gSugamo Diaryh, kisah keluar masuk dan kabur dari penjara Jepang, serta satu buku lagi berjudul, gI Was Defeatedh sebuah karya otobiografi.
Kodama dipakai pihak intel AS untuk menghancurkan komunis di Jepang, termasuk juga menghancurkan anti nasionalis. Dia adalah tokoh sayap kanan yag kuat. Tahun 1947 dia meminta Meiraki-gumi, afiliasi Yamaguchi-gumi untuk menghancurkan sebuah gerakan pekerja di pertambangan Hokutan. Dia juga yang menyatukan Yamaguchi-gumi dengan Tosei-kai, yang dipimpin Hisayuki Machii. Kodama adalah seorang broker (perantara) yang piawai.
Jepang adalah negara yang mampu melakukan adaptasi yang luar biasa agar sesuai dengan perubahan zaman, dengan tetap menjaga persatuan di dalam hatinya masing-masing. Yakuza, sebagai bagian dari sistem ini, akan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman, tapi sangat tidak mungkin bahwa sebuah organisasi yang jejak akarnya kembali lebih dari 400 tahun yang lalu, akan hilang dalam waktu dekat, gBanyak yang ditangkap polisi, tetapi Yakuza tetap berjalan dengan baik seolah tanpa halangan apa pun,h papar Robert Whiting, pengarang Tokyo Underworld, saat diwawancarai National Geography pada bulan Desember 2011.